Pawon dalam budaya jawa (manusia dan kebudayaan)
Dalam hidup orang Jawa dikenal adanya tiga ungkapan yang sangat penting yaitu sandang, pangan, dan papan. Artinya, dalam hidup manusia Jawa memerlukan tiga hal yang sangat penting yaitu: sandang (pakaian) untuk membalut tubuh supaya terlindung dari kedinginan, kepanasan, dan untuk estetika; pangan (makan) adalah makanan yang harus ada untuk dimakan sebagai syarat untuk bertahan hidup; dan papan (rumah atau omah) sebagai tempat berteduh atau tempat tinggal. Ketiga unsure budaya tersebut (sandang, pangan, dan papan) merupakan simbol penting dalam kehidupan orang Jawa. Di dalam budaya Jawa terdapat anggapan bahwa antara rumah, tanah, dan penghuninya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Orang merasa bersatu dengan rumah dan tanah tempat tinggalnya, sekaligus merasa bersatu dengan desa tempat menetapnya. Perasaan bersatu yang demikian itu menyebabkan rasa aman dan tenteram bagi orang yang menghuni rumah tersebut. Dengan adanya perasaan demikian itu, maka rumah merupakan bagian penting bagi kehidupan manusia. Karena dapur adalah bagian dari rumah, dengan sendirinya juga memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan penghuni rumah tersebut. Bagi orang Jawa, karena rumah dianggap sangat penting, maka ruang-ruang di dalam rumah ditata sedemikian rupa, sehingga ada bagian-bagian yang terbuka bagi orang luar atau tamu-tamu, dan ada pula bagian-bagian yang tabu atau harus disembunyikan dari orang luar. Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan berikut ini akan memokuskan diri pada salah satu unsur budaya Jawa, yaitu bagian dari papan, atau omah (rumah) yang disebut pawon atau dapur. Dapur, atau pawon ini mempunyai arti dan fungsi yang sangat penting dalam penyelenggaraan penyiapan kebutuhan makanan, maupun penyimpanannya, serta kegiatan lainnya. Masalah yang muncul adalah sampai sejauh mana manusia Jawa memaknai dan memperlakukan dapur, atau pawon guna memenuhi kebutuhan akan makan, minum, dan kebutuhan lainnya. Seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, berubahnya lingkungan alam, dan kemajuan teknologi, dapur atau pawon juga mengalami perkembangan bentuk, arti dan fungsi.umumnya. Dapur, dalam bahasa Jawa disebut pawon, mengandung dua pengertian: pertama, bangunan rumah yang khusus disediakan untuk kegiatan masak-memasak dan; kedua, dapat diartikan tungku. Kata pawon berasal dari kata dasar awu yang berarti abu, mendapat awalan pa dan akhiran an, yang berarti tempat. Dengan demikian, pawon (pa+awu+an) yang berarti tempat awu atau abu. Kenyataannya memanglah demikian, dapur atau pawon memang tempat abu (bekas pembakaran kayu/arang ditungku), sehingga dianggap sebagai tempat yang kotor. Dapur dalam kehidupan tradisional orang Jawa, memang tempat abu, di sanasini nampak bergelantungan sawang (jelaga) yang hitam oleh asap api. Demikian juga peralatan memasak berwarna kehitaman karena jelaga. Kemungkinan disebabkan oleh keadaan seperti itulah (penampilan yang serba hitam dan kotor), maka di dalam susunan rumah tradisional Jawa, dapur pada umumnya terletak di bagian belakang.
Dalam budaya Jawa menurut Parsudi Suparlan, konsep tentang sistem klasifikasi mengenai alam semesta dan isinya terdapat konsep dikotomi antara yang baik dan buruk, bersih dan kotor. Oleh karena itu dalam
sistem klasifikasi itu maka kakus (jamban atau kamar kecil) maupun dapur letaknya selalu di belakang. Oleh karena dapur dianggap tempat kotor, maka dalam hal membuat bangunan dapur tidak begitu diperhatikan seperti halnya kalau membuat rumah induk. Menurut Daldjoeni (1) pada umumnya bangunan dapur adalah bangunan tambahan, dan biasanya bangunan dapur dibuat sesudah bangunan rumah selesai.
Dapur atau pawon sebagai bangunan tambahan, tidak dianggap sebagai bangunan pokok atau penting, dan konstruksi bangunan dapur sangat sederhana. Oleh karena itu untuk membuat dapur tidak diperlukan persyaratan yang rumit seperti akan membuat rumah induk yang memerlukan perhitungan waktu (primbon). Dalam kehidupan tradisional Jawa, makan tidaklah mendapatkan perhatian penting. Dalam Kitab Wulangreh karya Paku Buwana IV mengatakan ‘aja pijer mangan nendra’ (jangan selalu makan dan tidur), dan ‘sudanen dhahar lan guling” (kurangilah makan dan tidur) menduduki tempat utama di dalam kepustakaan orang Jawa3. andangan hidup orang Jawa menandaskan bahwa kekuatan seseorang bukanlah tergantung pada banyaknya makanan yang masuk ke dalam tubuh, melainkan kepada tekat dan batin. Orang tidak akan menjadi lemah tubuhnya hanya karena sedikit makan, bahkan sebaliknya, orang akan memperoleh ‘kekuatan’ karena sering melaksanakan ‘ngurang-ngurangi makan dan tidur (tirakat atau asketis).
Karena terpengaruh oleh pandangan hidup demikian itulah, maka dalam susunan arsitektur rumah Jawa, dapur atau pawon serta kegiatan memasak tidak mendapat perhatian khusus. Namun demikian di dalam pola pikir orang Jawa, makan diartikan menerima berkah dari Dewi Sri yang dianggap sebagai sumber rejeki. Penghormatan terhadap Dewi Sri oleh orang Jawa sematamata bukan diwujudkan dalam makan dan kegiatan memasak, tetapi penanganan secara serius dalam pengolahan lahan pertanian sejak awal sampai pascapanen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar