Rabu, 11 Januari 2012

ASAL-USUL KORUPSI

Asal-usul Korupsi
Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banya ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption). Korupsi moral merujuk pada berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng, hingga para penguasa rezim termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum, tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri.
   Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian, muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi. Alatas (1987), menandaskan esensi korupsi sebagai pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati keperscayaan. Korupsi merupakan perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan. Titik penting yang ingin diletakkannya di sini, juga mencakup dua bentuk korupsi yang sulit untuk dimasukkan dalam kebanyakan peristilahan korupsi, yaitu nepotisme dan korupsi otogenik. Sementara, Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada, “Pemanfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi.” Ini merupakan definisi yang sangat luas dan mencakup tiga unsur korupsi yang digambarkan dalam akronomi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
   Hafidhuddin mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran Islam. Ia menyatakan, bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbuatan fasad atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipoting tangan dan kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-'adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumu, yang sekali-kali amat dikutuk Allah SWT.
  Pengertian al-fasad sendiri dapat diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang menyebabkan orang takut, membunuh, melukai dan mengambil atau merampas harta orang lain. Berdasarkan pendapat tersebut, Didin menegaskan bahwa “korupsi samaburuk dan jahatnya dengan terorisme. Yang aneh, banya kalangan tidak menyadari seolah-olah korupsi itu dianggap perbuatan kriminal biasa, bahkan sering dianggap perbuatan yang wajar.
   Bagi Didin, ungkapan seperti ini sudah pasti harus ditolak dan dinafikan. Karena, hanya dengan menolak korupsi sebagai perilaku kriminal biasa, barulah perang terhadap korupsi dapat dilakukan senyaring dan sekeras perang melawan terorisme. Antara terorisme dan korupsi, merupakan dua entitas yang sangat membahayakan eksistensi serta keutuhan masyarakat dan bangsa. Demikian pula bila seorang koruptor meninggal dunia, seyogyanya jenasahnya tidak perlu dishalatkan oleh kaum muslim, sebelum herta hasil korupsinya itu dijamin akan dikembalikan oleh ahli warisnya kepada negara. Ha ini dianalogikan dengan orang yang meninggal dunia dalam kedaan masih memiliki utang, yang tidak boleh dishalatkan sebelum ada keluarga yang bersedia menjaminnya. Jika tidak, kelak di alam kuburnya, pelaku tindak perkara korupsi akan terombang-ambing oleh kejahatan korupsinya.
    Mahzar (2003), menandaskan istilah korupsi secara umum sebagai “berbagai tindakan gelap dan tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia lelu menambahkan, bahwa perkembanganya lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi, terdapat penekanan yang dilakukan sejumlah ahli dalam mendefinisikan korupsi, yakni “penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi.” Mahzar pun mencatat beberapa definisi korupsi yang paling seringa digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi. Gagasan yang diambil dari Philip (1997) ini, menyebutkan definisi korupsi sebagai; Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik (public office-centered corruption), yang didefinisikan sebagai tingkah laku dan tindakan seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti keluarga, karib kerabat dan teman. Pengertian ini, juga mencakup kolusi dan nopotisme pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.














Pendapat saya mengenai korupsi.
   Korupsi yaitu penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau perilaku tidak mematuhi prinsip untuk mempertahankan jarak. Maksudnya dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi. Upaya untuk memberantas korupsi itu harus dimulai dengan meningkatkan kesadaran mengenai perilaku yang dapat diterima dan meningkatkan pengetahuan mengenai kerugian-kerugian yang ditimbulkan korupsi. Korupsi juga bisa dikaitkan dengan perbuatan penyuapan adalah suatu istilah umum yang meliputi penyalahgunaan wewenang, sebagai akibat pertimbangan keuntungan pribadi yang tidak selalu berupa uang.
   Antara polisi dan KPK tidak ada pembagian khusus, apalagi tertulis, terkait perburuan kasusu korupsi, keduanya bisa saja menindaklanjuti laporan yang masuk terkait dugaan korupsi, tidak ada batasan atau koridor yang menghalangi polisi untuk menangani kasusu korupsi. Besar atau kecil kasus korupsi itu, polisi wajib untuk mengusutnya. Keberadaan KPK bukan sebagai penghambat kerja polisi, maksudnya tetap sebagai rekan kerja untuk membasmi korupsi.
  Sudah lebih dari lima tahun KPK berdiri dan sudah banyak kasus yang bisa diselesaikan oleh KPK. Sistem yang diterapkan pada KPK masih tidak efektif dan tidak menghasilkan sesuatu yang berbeda. Korupsi masih tetap merajalela, hukuman yang dijatuhkan tidak menimbulkan efek jera, atau uang yang diselamatkan tidak sebanding dengan anggaran bagi KPK. Meskipun demikian kehadiran KPK masih tetap dibutuhkan karena korupsi di Indonesia yang sudah kronis.
  Salah satu masalah yang dihadapi oleh KPK saat ini adalah permasalahan SDM, Pada tahun 2008 tercatat ada 550 orang yang berstatus sebagai pegawai KPK. Jumlah ini tentu saja tidak mencukupi untuk membasmi korupsi dari Indonesia sehingga kinerja KPK menjadi tidak optimal.
  Tugas KPK seharusnya bukan hanya penindakan dan penghukum para koruptor, tetapi juga melakukan tindakan pencegahan dan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Menurut saya KPK bisa dikatakan kedodoran dalam menjalankan tugas pencegahan dan penindakan. Sejak KPK berdiri sampai sat ini tidak ada parameter yang jelas untuk mengukur keberhasilan KPK dalam pelaksanaan tindakan pencegahan dan monitoring. Hal ini terlihat dari tidak adanya langkah strategis dan konkret dari KPK untuk mempercepat reformasi birokrasi di instansi pemerintah. KPK hanya sibuk mengadakan sosialisasi dan pemberitahuan tentang korupsi melalui iklan, poster, dan pelatihan-pelatihan. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan SDM untuk menjalankan monitoring dan tindakan pencegahan. Ketiadaan sumber daya membuat KPK tidak bisa melakukan monitoring terhadap semua instant yang ada.
   Korupsi bisa merugikan banyak pihak, yang menyebabkan terjadinya korupsi yaitu sebab buruknya keadaan ekonomi yang dialami, tidak berfungsinya pemikiran individu secara wajar, kurangnya pengawasan (monitoring), dan dorongan tekad yang telah direncanakan untuk melakukan tindakan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar